Penyakit antraks kembali menjadi sorotan setelah kasus terbaru dilaporkan di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.
Bakteri Bacillus anthracis, penyebab antraks, diketahui mampu bertahan dalam tanah selama puluhan tahun, menjadikannya ancaman laten bagi kesehatan manusia dan hewan.
Penularan melalui tanah tercemar menjadi jalur infeksi yang sering diabaikan, namun memiliki dampak serius bagi masyarakat yang tinggal di daerah endemik.
Menurut pafikalteng.org, penyakit antraks merupakan zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yang dapat menginfeksi manusia melalui berbagai jalur, termasuk kontak langsung dengan hewan terinfeksi, inhalasi spora, dan konsumsi produk hewan yang terkontaminasi.
Namun, penularan melalui tanah yang tercemar spora antraks menjadi perhatian khusus, terutama di daerah pertanian dan peternakan seperti Gunungkidul.
Spora antraks dapat bertahan dalam tanah selama puluhan tahun, terutama di lokasi bekas kematian hewan yang tidak ditangani dengan benar.
Ketika tanah yang tercemar ini terganggu, misalnya oleh aktivitas pertanian atau konstruksi, spora dapat terangkat ke permukaan dan menginfeksi manusia melalui luka terbuka atau inhalasi.
Gejala antraks pada manusia bervariasi tergantung pada jalur infeksi.
Antraks kulit, yang paling umum, ditandai dengan luka hitam yang tidak nyeri setelah munculnya benjolan merah.
Antraks inhalasi, meskipun jarang, sangat mematikan dan dimulai dengan gejala mirip flu yang berkembang menjadi kesulitan bernapas dan syok.
Antraks gastrointestinal terjadi setelah konsumsi daging hewan terinfeksi yang tidak dimasak dengan baik, dengan gejala seperti mual, muntah, dan diare berdarah.
Pengobatan antraks efektif jika dilakukan segera setelah gejala muncul.
Antibiotik seperti penisilin, doksisiklin, dan siprofloksasin digunakan untuk mengobati infeksi.
Namun, keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan dapat meningkatkan risiko komplikasi serius atau kematian, terutama pada kasus antraks inhalasi.
Pencegahan penularan antraks melalui tanah tercemar melibatkan pengelolaan bangkai hewan yang benar, termasuk pembakaran atau penguburan dalam-dalam untuk mencegah penyebaran spora.
Vaksinasi hewan ternak di daerah endemik juga penting untuk mengurangi risiko infeksi.
Selain itu, edukasi masyarakat mengenai bahaya antraks dan cara pencegahannya sangat penting, terutama bagi petani dan peternak yang berisiko tinggi terpapar.
Kasus antraks di Gunungkidul menunjukkan perlunya perhatian serius terhadap penularan melalui tanah tercemar.
Pemerintah daerah dan instansi terkait harus meningkatkan pengawasan dan edukasi kepada masyarakat untuk mencegah penyebaran penyakit ini.
Dengan langkah-langkah pencegahan yang tepat, risiko infeksi antraks dapat diminimalkan, melindungi kesehatan masyarakat dan hewan ternak.