Konflik IDI vs Kemenkes memang menjadi perbincangan hangat di tahun 2020. Pasalnya kedua organisasi kesehatan besar tersebut harusnya berada dalam satu kubu dan tujuan yang sama. Konflik yang berlangsung beberapa tahun ini akhirnya mencapai muncul dengan pemecatan Terawan dari anggota Ikatan Dokter Indonesia.
Deretan Fakta dan Kronologi Konflik IDI vs Kemenkes
Berikut ini fakta dan kronologi permasalahan antara IDI dan Kementerian Kesehatan beberapa tahun lalu dari https://ididompu.org.
1. Kronologi 2013-2022
Tidak banyak yang mengetahui bahwa permasalahan antara Ikatan Dokter Indonesia dan Kementerian Kesehatan sudah berlangsung cukup lama. Tepatnya dari tahun 2013 sampai Aprik ketika Terawan menerapkan metode DSA dalam pengobatan stroke yang menjadi sorotan IDI karena belum ada EBM-nya saat itu.
MKEK IDI kemudian memberikan sanksi sementara kepada Terawan akibat adanya pelanggaran kode etik berat. Hingga selanjutnya pada tahun 2019 Terawan diangkat sebagai Menteri Kesehatan meskipun ada rekomendasi MKEK, untuk pembatalan pengangkatan karena sanksi ini.
Hingga pada akhirnya dalam Muktamar XXXI keluar keputusan pemecatan Terawan secara permanen. Sehingga hal ini menandakan berakhirnya konflik antara IDI dan terawan.
2. 2023
Di tahun 2023 IDI kembali berkonflik dengan Kementerian Kesehatan. Kali ini Kemenkes dipimpin oleh Budi Gunadi Sadikin. Permasalahan kedua belah pihak ini didasarkan pada RUU Kesehatan atau Ombinbus Law dalam bidang kesehatan.
Rancangan yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan dan masuk Prolegnas 2023 ini mendapatkan kecaman dari ketua IDI. Menurutnya isi dari ombinbus Law kesehatan sangat merugikan tenaga medis terutama dokter.
3. Fakta-Fakta Konflik
Pemberhentian Terawan dari keanggotaan IDI secara permanen menjadi fakta utama, yang muncul dalam konflik kedua belah pihak. Pemecatan ini resmi dalam pengumuman pada Muktamar XXXI IDI di Banda Aceh.
Alasan pemecatan Terawan tidak hanya didasarkan pada konflik kedua pihak dalam kurun waktu cukup lama. Namun juga karena adanya beberapa kesalahan utama hingga pelanggaran kode etik berat.
Pertama adalah tentang pemakaian metode brain washing (cuci otak) lewat DSA karena tidak memiliki bukti ilmiah kuat. Kedua adalah pengenalan vaksin Nusantara yang memperoleh kritik tajam karena tidak memiliki standar penelitian aktual.
Konflik antara IDI dan Kementerian Kesehatan memang berjalan memanas. Terdapat ketegangan antara praktik dokter yang disebut komersial dan posisi resmi pemerintah melalui Kementerian Kesehatan. Tentunya konflik ini menunjukkan bagaimana pentingnya IDI sebagai organisasi, yang terus berjuang demi mendapatkan hak-hak tenaga dokter di Indonesia.